BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Gerakan modern dalam Islam adalah jawaban yang ditujukan terhadap berbagai
krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran kerajaan Turki Usmani
telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium
itu. Salah satunya adalah gerakan Wahabi, yaitu sebuah gerakan reformis
puritanis (salafiyah), gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke
arah reformasi Islam abad ke-20 yang lebih bersifat intelektual.
Sementara itu di Indonesia, pemerintah Hindia Belanda tengah menjalankan
politik etisnya yaitu dengan mendirikan sekolah-sekolah formal bagi bumi
putera, terutama dari kalangan priyayi dan kaum bangsawan. Dengan adanya
pendidikan ini maka lahirlah kaum terpelajar yang peduli akan nasib rakyat
Indonesia. Pengetahuan mereka tentang kemiskinan, penindasan dan lain
sebagainya, mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial seperti Budi Utomo,
Taman Siswa, Jong Java, Jong Sumatranen, Jong Ambon, Jong Salabes, dan
lain-lain.
Kemudian bagaimanakah perjuangan kemerdekaan umat Islam melawan penjajah
Belanda dan Jepang, dan bagaimana pula keadaan organisasi politik dan sosial
Islam dalam suasana Indonesia merdeka seperti pada masa Revolusi, Liberal, Orde
baru hingga kebangkitan baru Islam di masa Orde Baru.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Gerakan Modern Islam : Asal-Usul Dan Perkembangannya?
2.
Bagaimana
Perjuangan Kemerdekaan Umat Islam di Indonesia?
3.
Bagaimana
Organisasi Politik Dan Organisasi Sosial Islam Dalam Suasana Indonesia Merdeka
?
|
C.
Tujuan
1.
Untuk
Memaparkan Gerakan Modern Islam : Asal-Usul Dan Perkembangan.
2.
Untuk
Memaparkan Perjuangan Kemerdekaan Umat Islam di Indonesia.
3.
Untuk
Memaparkan Organisasi Politik Dan Organisasi Sosial Islam Dalam Suasana
Indonesia Merdeka.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Gerakan Modern Islam : Asal-Usul Dan
Perkembangan
Pembaharuan dalam Islam ( gerakan modern Islam ) merupakan jawaban
yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran
progresif Kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, telah
melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab. Yang terpenting di
antaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan Salafiyah. Gerakan ini
merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuan Islam abad 20
yang lebih bersifat intelektual.[1]
Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah Jamaluddin
Al-Afghani ( 1897 ). Ia mengajarkan solidaritas Pan-Islam dan pertahanan
terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang
secara ilmiah dimodernisasi.
Gerakan pemikiran yang lahir di Timur Tengah ini telah memberikan
pengaruh besar terhadap kebangkitan Islam di Indonesia, bermula dari
pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam hingga lahirnya
organisasi-organisasi keagamaan seperti SDI di Bogor ( 1909 ) dan Solo ( 1911
), Muhammadiyah di Yogyakarta ( 1912 ), NU di Surabaya ( 1926 ), dan lain-lain.
|
Baik organisasi-organisasi keagamaan ataupun sosial di atas
merupakan benih pencetus nasionalisme dalam pengertian modern.
B. Perjuangan Kemerdekaan Umat Islam.
1.
Masa Kolonial Belanda.
Nasionalisme dalam pengertian politik baru muncul setelah H.
Samanhudi menyerahkan tampuk kepemimipinan pada bulan Mei 1912 kepada HOS Tjokroaminoto yang mengubah nama
dan sifat organisasi serta memperluas
ruang geraknya. SI memperjuangkan sendiri bagi penduduk Indonesia, bebas dari
pemerintahan Belanda. Namun, pada perkembangan selanjutnya terjadi perbedaan
taktik dan program : golongan Revolusioner Vs golongan Moderat, politik
Koperasi tidak sejalan dengan politik Non-koperasi. Puncak perbedaan itu
memunculkan ideologinya sendiri yaitu komunisme yang kemudian melahirkan Partai
Komunis Indonesia ( 1923 ).
Banyak yang kecewa dengan perpecahan itu, maka sejak itulah SI
dengan tegas menyatakan ideologi Islamnya. Kemudia orang-orang yang kecewa
mendirikan kekuatan politik baru yang bebas dari Islam dan Komunisme seperti
PNI ( 1927 ), Partindo ( 1931 ), PNI-Baru ( 1931 ). Mereka ini disebut dengan
nasionalis “sekuler” dan nasionalis “netral agama”.
Dengan demikian ada 3 kekuatan politik yang mencerminkan 3 ideologi
: Islam, komunisme, dan Nasionalis Sekuler. Perpecahan mereka itu menurut
Deliar Noer disebabkan oleh pendidikan yang mereka terima bersifat Barat.[2]
Ketiga aliran tersebut terlibat dalam konflik ideologis yang cukup
keras. Dalam suasana konflik itu, SI semakin hari semakin merosot, sementara paratai-partai
nasionalis sekuler berkembang dengan pesat. Apalagi setelah HOS Tjokroaminoto
wafat, SI mengalami beberapa kali perpecahan yang mengakibatkan semakin
hilangnya pamor.
Usaha-usaha untuk mempersatukan kembali partai-partai politik
dengan aliran-aliran ideologi selalu berakhir dengan kegagalan, karena selalu
dihalangi oleh penjajah Belanda. Sementara itu, konflik ideologi terus pula
berkembang, dan bahkan golongan nasinalis netral agama pernah menuduh Islam
sebagai pembawa perpecahan. H. Agus Salim dituduh menjerumuskan SI menjadi
partai pendeta yang mencecerkan kepentingan sosial dan ekonomi rakyat untuk
agama.
Tuduhan-tuduhan itu tentu mendapat jawaban dari tokoh-tokoh SI
seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, A. Hasan dan M. Natsir yang ingin
menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya.
Hanya di Sumatra Barat, masyarakat Islam mampu memadukan antara
Islam dengan nasionalisme, yaitu melalui Persatuan Muslimin Indonesia ( Permi )
yang dipimpin oleh Muchtar Luthfi yang baru menyelesaikan studinya di Kairo,
Mesir.
Di awal tahun 1940-an, Sukarno yang pernah mendalami ajaran Islam
mencoba mendamaikan konflik-konflik itu dengan mengutip pendapat
pemikir-pemikir Timur Tengah, termasuk Turki, namun konsep politik beliau ini
merupakan penerapan sekularisme.
2.
Masa
Pendudukan Jepang.
Pemerintah
Jepang berusaha mengakomodasi 2 kekuatan, Islam dan Nasionalis Sekuler. Jepang
berpendapat bahwa organisasi-organisasi Islamlah yang sebenarnya mempunyai
massa yang patuh dan hanya dengan pendekatan agama, penduduk Indonesia ini
dapat dimobilisasi. Oleh karena itu organisasi Non-Keagamaan dibubarkan.
Sedangkan organisasi-organisasi seperti NU, Muhammadiyah, MIAI, Masyumi
diperkenankan kembali meneruskan kegiatannya.[3]
Bagi golongan
nasionalis dibentuk lembaga-lembaga baru, seperti Gerakan Tiga A ( Nippon
Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia ) ( Mei 1942 ) dan
Poesat Tenaga Rakjat ( Poetera ) ( Maret 1943 ). Pemimpin tertingginya adalah
Sukarno yang dibantu oleh Drs. Moh. Hatta, Ki hajar Dewantara, dan K.H Mas
mansur, yang dikenal dengan empat serangkai.
Jepang kemudian
menjanjikan kemerdekaan Indonesia dengan mengeluarkan maklumat Gunseikan no. 23
/ 29 April 1945, tentang pembentukan BPUPKI, badan ini didominasi oleh golongan
nasionalis sekuler. Di sinilah Sukarno mencetuskan ide Pancasilanya. Meskipun
di dalam rumusan Pancasila itu terdapat prinsip Ketuhanan, namun pada dasarnya
negara dipisahkan dari agama. Pada prinsip ketuhanan terdapat anak kalimat “dengan
kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Yang
dikenal dengan Piagam Jakarta. Namun ini tidak memuaskan kedua belah pihak, dan
berkat usaha Sukarno dan Agus Salim, pada akhirnya Piagam Jakarta diterima
sebagai Mukaddimah Konstitusi dengan alasan bahwa ia merupakan suatu kompromi
yang dicapai dengan susah payah.
C. Organisasi Politik Dan Organisasi Sosial
Islam Dalam Suasana Indonesia Merdeka.
1)
Masa
Revolusi dan Demokrasi Liberal.
BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekann Indonesia ) ditingkatkan Pada waktu proklamasi tanggal 17 Agustus
1945, Piagam jakarta sama sekali tidak digunakan tetapi Sukarno-Hatta justru
membuat teks proklamasi baru yang lebih singkat karena ditulis dengan
tergesa-gesa. Selain itu namanya menjadi PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekann
Indonesia ), dan perubahan ini menyebabkan banyak anggota BPUPKI dan panitia sembilan tidak muncul lagi,
sehingga Presentasi Nasionalis Islam pun merosot tajam.[4]
Dalam sidang
PPKI Moh. Hatta meyakinkan anggota bahwa suatu konstitusi sekuler lah yang
mempunyai peluang diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia. Tujuh kata dalam
anak kalimat sila pertama dihapuskan, bahkan Kantor Urusan Agama pun di tolak.
Akan tetapi
rupanya penghapusan tujuh kata dalam anak kalimat pada sila pertama itu tidak
mengakhiri konflik ideologi yang telah berlangsung lama sejak sebelum
kemerdekaan.
Dan yang
sedikit agak melegakan hati umat Islam adalah keputusan Komite Nasional
Indonesia Pusat ( KNIP ), pengganti PPKI pimpinan Sutan Syahrir yang bersidang
pada tanggal 25 – 27 November 1945. Komite ini membahas usul agar dalam
Indonesia merdeka ini soal-soal keagamaan digarap oleh suatu kementerian
tersendiri. Dan sedikit banyaknya keputusan inimerupakan kompromi antara teori
sekuler dan teori muslim.[5]
Dalam masa-masa
Revolusi, konflik ideologi tidak begitu jelas, tetapi dapat disaksikan dan
dirasakan melalui pergantian kabinet yang silih berganti. Baru setelah
pemilihan Umum pertama 1955, di dalam konstituante hasil pemilu itu, dialog
ideologi kembali muncul secara terbuka, seperti yang terjadi dalam BPUPKI.
Tiga ideologi
di atas memunculkan 3 alternatif dasar negara : Islam, Pancasila, dan Sosial
Ekonomi. Tetapi dalam perjalanan selanjutnya hanya ada 2 ideologi yang muncul
yaitu Islam dan Pancasila. Dalam Pemilu 1955, tidak satu pun di antara
aliran-aliran pokok dalam masyarakat Indonesia itu tampil sebagai pemenang.
Yang muncul adalah suatu pertimbangan kekuatan yang mengharuskan adanya
kompromi dalam bidang politik.
Usaha-usaha
partai Islam dengan ideologi Islamnya dan partai nasionalis dengan
ideologi Pancasilanya sama-sama
mengalami jalan buntu. Namun kemudian diakhiri dengan Dekrit Presiden 1959,
konstituante dinyatakan bubar dan diberlakukan kembali UUD 1945. dalam Dekrit
itu disebutkan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan rangkaian kesatuan
dengan UUD 1945.
Sementara itu
organisasi Masyumi ( Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, al-Ittihadiyah, al-Jami’ah
al-Washliyah, al-Irsyad, dan Persatuan Islam )sebelum masyumi dibubarkan ,
mereka mengundurkan diri.
2)
Masa
Demokrasi Terpimpin.
Dengan bubarnya
Masyumi, maka partai Islam tinggal NU, PSII, dan Perti. Partai-partai ini mulai
menyesuaikan diri dengan keinginan Soekarno yang tampaknya mendapat dukungan
dari dua pihak yang bermusuhan : ABRI dan PKI. Dasar partai-partai ini adalah
ajaran agama : Al-Qur’an.
Walaupun
partai-partai Islam ini melakukan penyesuaian terhadap kebijakan Soekarno,
tetapi secara keseluruhan peranan partai-partai Islam mengalami kemerosotan.
Tak ada jabatan menteri berposisi penting yang diserahkan kepada Islam
sebagaimana yang terjadi pada masa Demokrasi Parlementer. Satu-satunya
kepentingan Islam yang diluluskan adalah keputusan MPRS tahun 1960 yang
memberlakukan pengajaran agama di Universitas dan Perguruan Tinggi.
Di masa ini,
Sukarno kembali ingin menyalurkan ide lamanya Nasakom, suatu pemikiran yang
ingin menyatukan nasionalis”sekuler”, Islam, dan komunis. Akan tetapi idenya
itu dilaksanakan dengan caranya sendiri. Peranan partai mengalami erosi,
kecuali PKI yang memainkan peranan penting dan diliputi dengan semangat yang
tinggi. Pancasila pun ditafsirkan sesuai dengan pemikirannya. Masa ini, karena
lebih didominasi oleh PKI, memendam ketegangan antara Islam dan komunisme.
Ketidakpuasan terjadi pada golongan nasionalis sekuler dan ABRI.
Masa Demokrasi Terpimpin
itu berakhir dengan gagalnya Gerakan 30 September PKI tahun 1965 ( G 30 S / PKI
). Umat Islam bersama ABRI dan golongan lainnya bekerjasama menumpas gerakan
itu.
3)
Masa
Orde Baru.
Setelah Orde
Lama hancur. Kepemimpinan Indonesia berada di tangan Orde Baru. Tumbangnya Orde
Lama – yang Umat Islam ikut berperan besar di dalam menumbangkannya. –
Memberikan harapan-harapan baru kepada kaum Muslimin. Namun, kekecewaan baru
pun muncul pada masa Orde Baru ini. Umat Islam merasa meskipun PKI telah tumbang,
kenyataan berkembang tidak seperti apa yang diharapkan. Rehabilitasi Masyumi,
partai Islam berpengaruh yang dibubarkan Soekarno, tidak diperkenankan. Bahkan
tokoh-tokohnya juga tidak diizinkan aktif dalam Partai Muslimin Indonesia (
Parmusi ) yang didirikan kemudian.[6]
Orde Baru sejak
semula mencanangkan pembaharuan sistem politik. Pada tanggal 26 November 1966,
dengan sebuah amanat dari Presiden, disampaikan kepada DPRGR: RUU kepartaian,
RUU Pemilu dan RUU Susunan MPR, DPR dan DPRD. Yang kedua dan ketiga ditetapkan
22 November 1969. sedang yang pertama terhenti. Pada tanggal 9 Maret 1970,
fraksi-fraksi parpol di DPR dikelompokkan. 3 tahun kemudian, Parpol difusikan
ke dalam PPP dan PDI ( 5 Februari 1973 ). Pada tanggal 14 Agustus 1975 RUU
kepartaian disahkan. Penataan kehidupan kepartaian berikutnya adalah penetapan
asas tunggal, Pancasila, untuk semua Parpol, Golkar, dan organisasi lainnya,
tidak ada asas ciri, tidak ada lagi ideologo Islam, dan oleh karena itu tidak
ada lagi partai Islam.
Asas tunggal
merupakan awal dari era baru peran Islam dalam kehidupan berbangsa ini. Peran
politik ( formal ) Islam tidak ada lagi, tetapi sebagai agama yang mengaku
tidak memisahkan diri dari persoalan politik, tentu peran itu akan terus
berlangsung. Mungkin dengan pendekatan yang berbeda.
4)
Kebangkitan
Baru Islam di Masa Orde Baru.
Dengan adanya
pengasastunggalan itu, sebagian umat Islam menganggap bahwa penyalur aspirasi
politik Islam hilang. Mereka khawatir terhadap ancaman skularisasi politik dan
kehidupan sosial di Indonesia. Ada anggapan bahwa dengan asas tunggal bagi
kekuatan politik dan organisasi kemasyarakatan, identitas keislaman mereka akan
semakin memudar.
Untuk
merumuskan situasi baru itu sekaligus memasyarakatkan kebijaksanaan tersebut,
beberapa kalangan yang sejak semula tidak melihat kemungkinan lain, dengan
menyelenggarakan forum-forum yang berkaitan dengan aspirasi politik Islam.
Depertemen Agama juga mengadakan seminar dengan tema “ Peran Agama dalam
Pemantapan Ideologi Negara Pancasila”.
Sejak dekade
1970-an, kegiatan Islam semakin berkembang, yaitu dengan munculnya
bangunan-bangunan baru Islam : mesjid-mesjid, mushalla-mushalla,
madrasah-madrasah, juga pesantren-pesantren. Maka dengan adanya sarana itu
semakin semaraklah jemaah shalat, pengajian-pengajian keagamaan, dan bahkan
pengajian dan diskusi keagamaan memasuki hotel-hotel mewah dan merekrut
elit-elit bangsa.[7]
Di samping itu,
sejak dekade 1970-an juga banyak bermunculan apa yang disebut dengan
intelektual muda muslim yang mempunyai ide-ide segar untuk masa depan umat.
Seperti HMI ( Himpunan Mahasiswa Islam ) tahun 1974, PMII ( Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia ), dan IMM ( Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ).
Departemen
Agama dan IAIN juga berjasa dalam melahirkan guru-guru Agama, pendakwah,
muballigh dalam jumlah yang besar. Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, yang
dibina oleh Presiden Soeharto juga tidak bisa diabaikan. Demikian juga dengan
kebijaksanaan pemerintah dalam mendirikan MUI.
Dengan asas
tunggal memang wadah politik umat Islam hilang. Namun, dengan pembaharuan
politik bangsa ini, sebagaimana telah disebutkan, umat Islam terlepas dari
ikatan yang sempit menuju dunia yang lebih luas.
Kegiatan-kegiatan
sosial dan kultural mempunyai nilai-nilai yang lebih lenggeng daripada hasil
perjuangan politik. Mungkin dengan alasan itu Muhammadiyah tidak berminat terjun
ke dunia politik, dan karena itu pula NU melepaskan diri dari PPP.
Bukan hanya PPP
yang menghimpun politisi-politisi muslim, Golkar, partai pendukung pemerintah
ini banyak merekrut tokoh-tokoh Islam menjadi pimpinannya dan mewakili di DPR
seperti DR. Nurchalish Madjid, K.H. Abdurrahman Wahid, dan lain-lain.
Dua Organisasi
Islam terbesar di tanah air yaitu NU dan Muhammadiyah terus diperhatikan oleh
setiap kekuatan politik.
Pengalaman di
masa lampau jelas menggambarkan bahwa suatu pemikiran akan berkembang secara
fleksebel apabila ia berakar dan mampu menjawab persoalan-persoalan yang ada di
masyarakat.
KESIMPULAN
1.
Hasil
pendidikan gerakan modern islam terlahir dari organisasi-organisasi sosial yang
peduli akan nasib bangsa seperti Budi Utomo, Taman Siswa, Jong Java, Jong
Sumatranen, Jong Ambon, Jong Salabes, dan lain sebagainya. Baik
organisasi-organisasi keagamaan ataupun sosial di atas merupakan benih pencetus
nasionalisme dalam pengertian modern.
2.
Perjuangan
kemerdekaan umat islam terbagi menjadi dua masa yaitu masa kolonial Belanda dan
Masa kependudukan Jepang. Pada masa kependudukan Jepang, Pemerintah Jepang
berusaha mengakomodasi 2 kekuatan, Islam dan Nasionalis Sekuler. Jepang
berpendapat bahwa organisasi-organisasi Islamlah yang sebenarnya mempunyai
massa yang patuh dan hanya dengan pendekatan agama, penduduk Indonesia ini
dapat dimobilisasi. Oleh karena itu organisasi Non-Keagamaan dibubarkan.
3.
Organisasi
Politik Dan Organisasi Sosial Islam Dalam Suasana Indonesia Merdeka. Dalam
perkembangannya dapat direalisasikan dalam beberapa tahap yaitu:
a.
Masa
Revolusi dan Demokrasi Liberal.
b.
Masa
Demokrasi Terpimpin.
c.
Masa
Orde Baru.
d.
Kebangkitan
Baru Islam di Masa Orde Baru.
DAFTAR RUJUKAN
Yatim Badri.
(2010), Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada),
hal. 257
Aliandris, Makalah
Peradaban Islam Di Indonesia, (file://C:/Users/asus/Downloads/tugas/5/spi/Aliandrismakalahperadabanislamdiindonesiapadamasamodernkontemporer.htm), diakses pada tanggal 21 November 2015 pukul 11.21
Supriadi Dedi.
(2008) , Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hal. 45
Dalam,(file://C:/Users/asus/Downloads/tugas/5/spi/LINTANGPUSATDANASPEKPERADABANISLAMMODERNDANKONTEMPORER.htm), diakses pada tanggal 21 november 2015 pukul 11.23
Mansur. (2008) ,
Peradaban Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Global Pustaka
Utama), hal. 65
[1] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2010), hal. 257
[2] Aliandris, Makalah
Peradaban Islam Di Indonesia, (file://C:/Users/asus/Downloads/tugas/5/spi/Aliandrismakalahperadabanislamdiindonesiapadamasamodernkontemporer.htm), diakses pada
tanggal 21 November 2015 pukul 11.21
[3] Dedi Supriadi,
Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hal. 45
[4] Badri Yatim, Sejarah...........
hal. 266
[5] Ibid..... hal.
267
[6] Dalam, (file://C:/Users/asus/Downloads/tugas/5/spi/LINTANGPUSATDANASPEKPERADABANISLAMMODERNDANKONTEMPORER.htm), diakses pada
tanggal 21 november 2015 pukul 11.23
[7] Mansur, Peradaban
Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2008),
hal. 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar